gudnyus
9 Agustus 2019, 13:33 WIB
Last Updated 2020-06-20T06:48:31Z
InsightOpini

Amsakar Achmad, Belajar Pada Tantangan dan Tungkus Lumusnya Kehidupan (1)

Advertisement

Gudnyus.id - Amsakar Achmad adalah satu dari sekian banyak orang yang hidup dan tumbuh dari hiruk pikuk kehidupan dan bertungkus lumus menjawab tantangan dan permasalahan kehidupan tersebut hampir pada setiap detak waktu yang dijalaninya.

Sejak dilahirkan tanggal 1 Agustus 1968 dari rahim seorang Ibu bernama Halimah binti Muhammad dengan seorang Bapak bernama Achmad bin Jubil, dia sudah menghadapi berbagai persoalan. Konon, pada masa kecilnya bayi bernama Amsakar Achmad --yang oleh orang kampungnya biasa dipanggil Milu ini-- sudah ditempa oleh alam.

Matanya yang terkatup sejak lahir mengharuskan terjadinya pergantian nama dari M. Kanton menjadi M. Sabar atas saran dari orang pandai di kampungnya. Milu alias M. Kanton alias M. Sabar alias Amsakar pada akhirnya dapat disembuhkan.

Dan sejak saat itu, sang nenek yang bernama Zainab dan Datok bernama Jubil, konon sangat menyayangi sang bayi. Itulah sebabnya, Amsakar Achmad kecil lebih sering bersama nenek dan datoknya dari pada bersama emak dan bapaknya.

Seiring dengan perjalanan waktu, Amsakar Achmad bergumul melewati masa kecilnya dengan berbagai keterbatasan. Kendati demikian, ia tetaplah melewati hari-harinya dengan canda dan tawa. Lelaki yang suka bermain belon, kical, patok lele, lastek, lempar kaleng, dan tembak kulit duku ini, memang memiliki karakter yang mudah dekat dan akrab dengan siapa saja. Itulah sebabnya, dia memiliki banyak kawan di kampungnya itu.

Meskipun sudah biasa mengalami kepala bengkak, wajah benjol dan kulit lebam, tapi sekali lagi, dia menganggap semua itu hal yang biasa dan jika tidak meninggalkan bekas, pasti dia tidak akan menceritakan apa yang dialaminya kepada nenek, mak ndak Azizah atau pak yak Agusnya. Sebab jika hal tersebut diceritakan, maka kepala benjol dan wajah lebamnya itu akan bertambah menjadi lebih sakit lagi karena dimarahi oleh mak ndak Azizahnya yang terkenal ”pelete”.

Didikan semi keras dengan spirit mengatasi permasalahan sendiri ini, kelak menyebabkan yang bersangkutan tumbuh menjadi kuat, teguh dan yakin, serta sangat mandiri. Hal ini tercermin tatkala Amsakar kecil ketika berusia 7 tahun, disuruh oleh bapaknya mendaftar masuk SDN Nomor 37 hanya berdua dengan abang saudaranya yang bernama Djulbazar. Di situlah bermula pembelajaran kemandirian.

Tatkala berumur 11 tahun, Amsakar sudah terbiasa membantu pak yak Agusnya mengumpulkan getah karet yang tertinggal di pohon, lalu dibuat seperti bola dan disimpan di bawah rumah neneknya sampai terkumpul dan dijual setiap bulan.

Disamping itu, Amsakar juga dilatih sang nenek mencangkul sepetak tanah untuk ditanami kacang panjang, daun kunyit, lengkuas, ubi jalar, kangkung, dan bayam. Semua benda yang ditanami tersebut selanjutnya dijual ke berbagai kedai setelah diikat oleh sang nenek menjadi sayur rampai.

Belum cukup sampai di situ, Amsakar kecil juga terbiasa mengantar penganan talam, tepung kusoi, apam, dan tepung gomak ke kedai kopi ”bah dereme” setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, sedangkan siangnya kalau musim jambu, Amsakar juga biasa mencocok lidi ke jambu untuk kemudian di titipkan di kedai Atai, Aceng dan Goho; sedangkan kalau masih ada waktu, Amsakar juga biasa mengail ikan di Malangkiah, Malangulo, kelong betawi, Mengkalan Apo, dan Pulau Mubon.

Begitulah, hari-hari yang dilalui oleh Amsakar sampai tamat SD sudah sangat terbiasa dengan mengambil pumpon untuk umpan, menyumek nos, mencari janek, dan menanjol udang di tepi pantai. Anehnya, kendati ditempa dengan kehidupan yang berat, Amsakar berhasil menamatkan SD pada tahun 1981 tepat waktu bahkan dengan predikat Juara III.

Atas prestasi yang diraih tersebut, Amsakar selanjutnya masuk ke SMP II Kelas Jauh Raya tanpa tes. Pada masa inilah sebuah tempaan dan pembelajaran kehidupan dilalui dengan penuh keringat, air mata, kesedihan dan tentu saja duka cita.

Betapa tidak, dengan usia yang baru 13 tahun, Amsakar harus menempa diri mengayuh sepeda trondol --istilah untuk menyebut sepeda butut pada masa itu-- menempuh perjalanan 16 km dari Kampung Suak Tangun ke Raya setiap hari dari jam 11.00 berangkat (karena masuk sekolah jam 14.00 Wib) dan jam 17.30 wib pulang.

Meskipun teman dari Kuala Raya dan Bukit Belah cukup ramai yang berulang pakai sepeda seperti Alkaf (Bidin), Jang Katuk, Lee Hang Seng (almarhum), Sugeng, Irwan, Yusnaidi Zaman, Junaidi, Syukur, Kahar, Sofian, dan Saifudin Juhri, namun dari Sungaibuluh hanya Amsakar dan Yuswar saja.

Jalan yang dilaluipun penuh lobang, berdebu kalau musim panas dan becek kalau musim hujan, belum lagi kuburan di sekitar pasir kubur dipastikan membuat bulu kuduk berdiri tatkala pada jam 19.00 atau 20.00 wib Amsakar melalui jalan itu untuk pulang ke Suak Tangun.

Masa ini merupakan saat terberat untuk seorang yang baru berumur belasan tahun. Karena itulah, sebagai anak yang menginjak remaja, Amsakar tak bisa membohongi dirinya sendiri, dimana pada saat-saat tertentu tatkala penat dan keringat sudah menusuk ke relung batin, Amsakar seringkali hanya tidur di Bukit Belah atau mengambil pisang Pak Daeng untuk di peram sambil tiga hari kemudian menunggu masak.

Otomatis kalau sudah tidur atau mengambil pisang, Amsakar terpaksa berbohong kepada Mak Ndak dan Pak Yak Agusnya dengan terlebih dahulu membasahi baju dan celananya di kolong, untuk kemudian balik ke Suak Tangun dengan alasan tak bisa sekolah karena hujan.

[Bersambung...]