Bhama
1 Maret 2020, 11:17 WIB
Last Updated 2020-03-11T04:18:53Z
Insight

Penyakit Hewan Yang Perlu Di Waspadai Kemunculannya Di Indonesia

Advertisement

Gudnyus.id - Pada umumnya penyakit-penyakit infeksius yang sangat peka terhadap perubahan iklim adalah penyakit yang dalam proses penularannya memerlukan vektor jenis serangga seperti nyamuk (EPSTEIN, 2001; ZELL et al., 2008).

Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa vektor tertentu seperti serangga nyamuk dalam siklus hidupnya dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembaban sehingga dapat berkembang dengan pesat yang berpotensi menyebarkan penyakit kepada induk semangnya. Selain itu perubahan iklim juga dapat memicu terjadinya perubahan migrasi burung yang ikut berperan dalam menyebarkan penyakit. 

Demikian juga dengan perubahan lingkungan dapat mengakselerasi terjadinya penyakit hewan. ARZT et al. (2010) dalam tulisannya mengemukakan bahwa penyakit RVF, AI (HPAI) dan BT termasuk dalam kelompok penyakit di bidang pertanian yang diduga akan menjadi perhatian di awal millenium ke-3 ini. 


Perubahan iklim dengan penyebaran penyakit dan mempunyai potensi untuk muncul dan mewabah di Indonesia. Selain itu terdapat juga penyakit lain yang secara tidak langsung berhubungan dengan kejadian banjir atau kekeringan akibat adanya perubahan iklim, yaitu penyakit leptospirosis, anthrax dan penyakit flu burung (H5N1) yang memang sudah ada di Indonesia.

Penyakitbluetongue(BT)
Penyakit bluetongue (BT) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus Arbo dari genus Orbivirus yang termasuk dalam famili Reoviridae. Berbeda dengan virus Arbo lainnya, penyakit BT ini tidak menular ke manusia. Virus ini patogenik untuk hewan ruminansia domestik maupun liar. Virus ini banyak menyerang domba asal Eropa yang dikembangkan secara komersial dan banyak didistribusikan ke Afrika, Asia dan Australia.

Penyebaran virus ini dimulai dari Afrika menyebar ke negara beriklim sedang, biasanya penyakit virus BT ini muncul pada keadaan iklim yang sesuai. Introduksi serotipe virus BT-8 terbaru telah sampai ke Eropa bagian Utara termasuk Inggris pada tahun 2006, bahkan sudah mencapai Norwegia pada tahun 2009 (ARZT et al., 2010). 

Penyebaran penyakit virus BT di Eropa ini terkait erat dengan ekspansi dari vektornya berupa nyamuk Culicoides imicola, dimana pada saat itu telah terjadi perubahan iklim yang cukup panas dengan kelembaban yang meningkat (ARZT et al.,2010;PURSE et al., 2008). Di Amerika Serikat virus BT serotipe-1 (virus BT-1) pertama kali dideteksi di Lousiana pada tahun 2004 yang diduga berhubungan dengan sebaran vektor Culicoides spp. dimana penyebarannya terkait dengan perubahan iklim. 

Di Indonesia kasus pertama penyakit virus BT terjadi pada domba impor Suffolk asal Australia pada tahun 1981 di Jawa Barat (SUDANA dan MALOLE,1982). Pada penelitian yang dilakukan SENDOW et al. (1993a;b) dapat diisolasi virus BT serotipe 1,3,6,7,9, 12, 16, 21 dan 23 yang berasal dari sentinel sapi di Jabar dan Irian Jaya. Antibodi virus BT banyak ditemukan pada ruminansia besar maupun ruminansia kecil karena terdapat banyak vektor yang menularkan penyakit ini. 

Isolat virus BT lokal serotipe 1, 9, dan 21 yang diperoleh dari sentinel di Jawa Barat dan Irian Jaya (SENDOW et al., 1993a; b) ternyata tidak patogen setelah diuji pada domba merino impor dan domba lokal (SENDOW, 2005). SENDOW (2002) berhasil mengisolasi virus BT serotipe 1 dari Culicoides fulvus; virus BT serotipe 6 dari C. peregrinus, dan virus BT serotipe 21 dari C. shortii dan C. orientalis yang  mana semua serangga nyamuk tersebut berasal dari wilayah Jawa Barat. Serotipe yang paling banyak diisolasi adalah serotipe 1 dan 21 (SENDOW danBAHRI, 2005). 

Metode untuk mengontrol penyakit virus BT ini dimulai dengan upaya menekan terjadinya pemaparan hewan terhadap serangga (vektor) penular virus BT, penggunaan insektisida untuk memutus/mengontrol serangga/ siklus hidup serangga penular virus BT, namun metode ini sepertinya sulit dilakukan. Pemberian vaksin polivalen dari berbagai serotipe virus BT terhadap hewan yang akan diimpor lebih tepat dibandingkan dengan cara pertama.  

Japanese encephalitis(JE) 
Penyakit Japanese encephalitis (JE) adalah penyakit radang otak yang dapat menyerang hewan maupun manusia yang disebabkan oleh virus JE dapat berakibat fatal pada penderita (FENNER et al., 1992; WEISSENBOCK et al., 2010).

Penyakit JE pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1871, oleh karena itu diberi nama Japanese encephalitis, sedangkan virusnya sendiri baru berhasil diisolasi pada tahun 1933. Virus JE ini termasuk dalam kelompok virus Arbo dari genus Flaviviridae, mempunyai 5 genotipe didasarkan atas analisis phylogenetic dari gen E virus (SOLOMON et al., 2003; WILLIAMS et al., 2000). 

Penyakit ini bersifat zoonosis dan penularan kepada hewan maupun manusia tidak secara langsung tetapi melalui gigitan vektor berupa serangga nyamuk. Induk semang yang dapat terinfeksi adalah babi, ternak ruminansia, kuda, kelinci, unggas, kelelawar dan manusia. Aktivitas virus secara alami akan terpelihara melalui siklus hidup nyamuk dengan unggas dan babi adalah induk semang penting tempat perbanyakan dari virus tersebut (WEISSENBOCK et al., 2010). 

Pada saat ini virus JE telah tersebar hampir di banyak negara, terutama di Asia termasuk Indonesia (OMPUSUNGGU et al., 2008). Hewan yang berperan sebagai reservoar dari virus JE adalah ternak babi, sedangkan manusia dan kuda merupakan target akhir dari siklus penularan atau dikenal juga dengan istilah dead-end karena viraemia terjadi sangat singkat sehingga sulit untuk ditularkan darimanusia ke manusia. 

POERWOSOEDARMO et al. (1996) melaporkan bahwa kasus JE pada manusia di Indonesia hanya terjadi secara sporadis dan hanya terdapat di kota besar. Sedangkan BUHL et al. (1996) melaporkan bahwa penyakit JE memang terdapat di Indonesia yaitu pada turis asal Denmark yang menunjukkan gejala klinis, serologis, patologis anatomis dan histopatologis menunjukkan bahwa turis tersebut memang positif mengidap penyakit JE.

Laporan di Indonesia bahwa kasus JE rendah karena belum dapat diungkapkan, SENDOW et al., (2000) melaporkan hasil penelitiannya bahwa reaktor JE (antibodi terhadap JE) tertinggi pada sapi baik di Sumatera Utara (86%), Kalimantan Barat (62%), Sulawesi Selatan (57%), Jawa Barat (23%) dan Irian Jaya (37%). Selain sapi, ternak lainnya seperti kambing, babi, ayam, itik, anjing dan kuda juga positif reaktor JE. 

Sedangkan sampel manusia dari Kalbar, NTT dan Irja juga positif reaktor JE masing-masing 30%, 29% dan 18%. Bila dikelompokkan berdasarkan spesimen asal hewan dan manusia, maka persentase reaktor positif JE adalah sebagai berikut: sapi (51%), kambing (27%), babi (11%), ayam (43%), itik (44%), kuda (14%), anjing (12%), dan manusia (24%).

Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa reaktor JE pada babi di Kalbar telah meningkat sangat pesat mencapai 84% pada kalong Pteropus vampyrus juga positif reaktor JE sebesar 12% (SENDOW et al., 2008b). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai spesies hewan dan juga manusia cukup banyak yang telah terinfeksi virus JE di Indonesia. 

Pada perubahan iklim yang cenderung terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban di Indonesia, dapat memicu ledakan populasi serangga  nyamuk vektor JE. Bila hal ini terjadi maka peluang manusia dan hewan terinfeksi virus JE melalui gigitan nyamuk (vektor) yang telah terinfeksi virus JE akan semakin tinggi.

Perlu diantisipasi untuk mencegah terjadinya wabah JE di Indonesia dengan cara mengontrol atau mengendalikan vektor tersebut dengan melakukan surveilans yang intensif. Sudah saatnya untuk dilakukan penelitian untuk mengungkapkan penyebab dari terjadinya kasus ensefalitis pada manusia. Keberadaan virus, vektor dan kondisi lingkungan yang kurang higienis pada masyarakat Indonesia di pedesaan yang juga kehidupan sosial ekonominya rendah menyebabkan daya tahan tubuhnya jugarendah.

Penyakit Nipah
Penyakit Nipah adalah penyakit viral yang disebabkan oleh virus Nipah dari genus Morbilivirus, Famili Paramyxoviridae yang menyerang ternak babi dan bersifat zoonosis (CHUA et al., 2000b). Penyakit Nipah pertama kali dilaporkan di Malaysia pada tahun 1998 pada awalnya diduga penyakit Japanese encephalitis (JE) karena selain gejala klinisnya mirip dengan gejala JE terutama bentuk ensefalitis dan gejala syaraf lainnya, juga penyakit Nipah ini merupakan penyakit eksotik yang belum pernah terjadi sebelumnya (CHUA et al., 1999).  

Hasil pemeriksaan serologis juga bereaksi positif (reaksi silang) dengan virus Hendra, sehingga penyebabnya diduga virus Hendra seperti yang pernah terjadi di Australia, dari hasil penelitian lebih lanjut walaupun secara biomolekuler virus ini mirip dengan virus Hendra tetapi tidak identik. Pada akhirnya diberi nama virus Nipah sesuai dengan nama lokasi kejadian di desa Sungai Nipah Negeri Sembilan (CHUA et al., 1999, and 2000 a,b). 

Wabah penyakit ini mengejutkan bidang kesehatan  manusia dan veteriner karena dalam waktu kurang dari satu tahun (September 1998 – April 1999), wabah penyakit ini telah menewaskan 105 orang dan sekitar 1,1 juta ekor babi dimusnahkan (CHUA et al., 1999; 2000a). Penyakit Nipah ini termasuk penyakit baru yang sebelumnya belum pernah dilaporkan di dunia, sehingga pada awal kejadiannya diduga sebagai penyakit JE karena adanya gejala ensefalitis dan kejadiannya juga banyak menyerang ternak babi. 

Pada kejadian penyakit Nipah di Malaysia ini ternyata ternak babi dan kalong merupakan dua spesies hewan yang sangat berperanan penting, dimana kalong berperan sebagai reservoar dari virus Nipah, sedangkan ternak babi berperan sebagai pengganda virus yang mengamplifikasi virus Nipah sehingga siap untuk ditularkan ke babi atau hewan lain atau manusia (DANIELS et al., 2001; FIELD, 2001). 

Penularan virus Nipah melalui udara dan pernafasan dimana partikel virus Nipah terbawa keluar tubuh babi terinfeksi melalui batuk yang sangat keras. Penularan dapat juga melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh atau cairan ekskresi seperti urin atau saliva, busa cairan yang keluar melalui pernafasan (SENDOW dan ADJID, 2005).

Penularan melalui udara merupakan yang paling efektif karena virus antara lain menyerang dan berkembang pada mukosa saluran pernafasan babi dan menyebabkan sel mukosa rusak dan virus keluar tersekresi dalam busa cairan pernafasan atau udara pernafasan pada waktu babi batuk keras, virus juga keluar bersama urin atau cairan darah dan menyebar serta menular kepada hewan lain atau manusia. 

Kejadian wabah penyakit Nipah di Malaysia tersebut diduga karena dipicu oleh perubahan ekologi dimana telah terjadi peralihan fungsi penggunaan sebagian lahan perhutanan untuk peternakan babi dan perluasan perkebunan buah, sehingga banyak kalong di sekitar perkebunan buah dan peternakan babi tersebut (CHUA, et al., 1999). Sampai saat ini infeksi virus Nipah baru ditemukan di Malaysia dan Singapura dimana kejadian di Singapura merupakan bagian dari kasus yang berasal dari Malaysia (CHUA et al., 2000a) dan Bangladesh (HSU et al., 2004). 

WIDARSO et al. (2000) pernah melaporkan bahwa kasus penderita ensefalitis di Indonesia pada dua orang yang pernah bekerja di salah satu peternakan babi yang terkena wabah Nipah di Malaysia, positif mengandung antibodi terhadap virus Nipah secara serologi dimana kedua orang tersebut ahirnya meninggal di rumah sakit Batam pada tahun 1999.

Namun saat ini di Indonesia masih dinyatakan bebas Nipah pada babi. Hal ini terlihat dari laporan SENDOW et al. (2004) bahwa hasil pengujian terhadap 1300 serum babi yang berasal dari beberapa daerah di Sumatra Utara, Riau, Sulawesi Utara dan Jawa tidak ditemukan adanya antibodi terhadap virus Nipah. 

Tetapi hasil surveilen secara serologi dengan uji ELISA terhadap sejumlah kalong spesies Pteropus vampyrus yang berasal dari Sumatra Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur, ditemukan antibodi terhadap virus Nipah (23,7% dari 156 spesimen serum kalong P. vampyrus). Hasil uji ini telah dikonfirmasi dengan menggunakan uji SN (serum netralisasi) yang dilakukan di AAHL (Australian Animal Health Laboratory) Australia (SENDOW dan ADJID, 2005; SENDOW et al., 2008a). 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kalong di beberapa wilayah Indonesia telah terinfeksi oleh virus Nipah yang berpotensi untuk menulari babi di wilayah tersebut. Terkait dengan hasil penelitian SENDOW dan ADJID (2005) kemungkinan ada hubungan dengan yang dihlaporkan SMITH et al. (2005) bahwa kalong P. vampyrus yang ada di peninsula Malaysia dapat bermigrasi ke pulau Sumatra untuk tinggal beberapa minggu dan kembali lagi ke Peninsula Malaysia. Keadaan ini memungkinkan terjadinya penularan virus Nipah dari kalong asal Malaysia dengan kalong yang terdapat di Indonesia atau kalong yang tertangkap merupakan kalong yang bermigrasi dari Malaysia. 

Untuk mencegah munculnya wabah penyakit Nipah di Indonesia, perlu dilakukan surveilans lebih lanjut  terhadap kalong P. vampyrus terutama di sekitar lokasi peternakan babi, kebun buah kesukaan kalong tersebut dan rute perjalanan kalong dari habitatnya ke kebun buah tempat kalong mencari makan. Selain pada kalong, surveilans juga dilakukan pada ternak babi yang populasinya padat dan berdekatan dengan tanaman buah dimana kalong P. 

vampyrus mencari makan. Bila babi positif mengandung virus Nipah, segera lakukan pemusnahan pada kelompok ternak babi tersebut. Hendaknya lokasi peternakan babi tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk dan juga tidak berdekatan dengan sarang/habitat kalong yang dapat bertindak sebagai reservoar. Lahan di sekitar peternakan babi sebaiknya tidak ditanami tanaman buah yang dapat mengundang kehadiran kalong P. vampyrus. Jadi penting untuk memutus mata rantai penularan virus Nipah dari kalong P. vampyrus ke ternak babi. Impor babi juga harus hati-hati jangan ada yang sudah tertular virus Nipah dan pengetatan sistem karantina perlu dilakukan untuk mengantisipasi masuknya Nipah ke Indonesia.

PenyakitWest Nile(WN)
Penyakit West Nile (WN) adalah penyakit viral yang dapat menyerang hewan seperti kuda dan unggas yang disebabkan oleh virus Arbo dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae dimana penyakit ini bersifat zoonosis (GOULD dan HIGGS, 2009).

Virus WN ini pertama kali diisolasi pada tahun 1937 dari darah seorang wanita yang menderita demam di daerah West Nile bagian utara Uganda  yang kemudian diketahui juga sebagai virus penyebab demam WN pada anakanak di Afrika Utara dan Timur Tengah pada tahun 1950 (HAYES, 2001). Virus WN ini diketahui terkait dengan nyamuk Culex spp. 

Pada unggas (bersifat Ornithophilic), dimana virus ini memperbanyak diri pada nyamuk dan menularkannya kepada burung setempat atau burung/ unggas yang bermigrasi atau burung pendatang, sehingga dapat mempermudah menyebarkan virus WN dengan geographis yang lebih luas. Di bidang veteriner virus WN ini termasuk jenis patogen yang cukup penting, patogenitasnya pada kuda menyebabkan ensefalomyelitis nonsuppuratif (WEISSENBOCK et al., 2010).

Wabah WN pada manusia di Amerika Serikat juga didahului banyaknya kematian burung di kota New York, juga telah menyebabkan ribuan ekor kuda mati karena terinfeksi virus WN (KOMAR, 2003; WEISSENBOCK et al., 2010). Bahkan virus WN juga telah memperlihatkan sangat patogenik pada sejumlah besar unggas liar dan domestik (KOMAR, 2003). 

Penyakit WN semakin menjadi perhatian dunia setelah mewabah di Amerika Serikat yang dimulai pada Agustus 1999 di kota New York yang menewaskan 9 orang dari 62 orang yang menunjukkan gejala klinis positif WN dimana penyakit menyebar dengan cepat sehingga pada tahun 2002 telah menyebar di 39 negara bagian AS dan menewaskan 284 orang dari 4156 orang yang positif WN (KOMAR, 2003; BRIESE et al., 1999; BANSKOWSKI dan ANDERSON, 2003). Pada saat yang bersamaan juga terjadi banyak kematian burung pada ahir musim panas tahun 1999 (BRIESE et al., 1999). Dari hasil penelitian dapat diungkapkan bahwa strain virus WN tersebut berasal dari Israel. 

Pada saat itu cuaca di New York antara musim semi dan musim panas di tahun 1999 dimana keadaannya panas dan lembab yang sangat cocok untuk berkembangbiaknya nyamuk sehingga populasi nyamuk sangat tinggi dan berperan sebagai penular virus Arbo yang sangat efisien. Diduga munculnya wabah virus WN di Amerika Serikat pada tahun 1999 sangat terkait dengan adanya perubahan iklim disertai dengan importasi burung dari negara tertular yang membawa virus WN dalam tubuhnya. 

Penyebaran virus WN di Amerika Serikat ini terus bergerak ke arah Selatan sehingga pada tahun 2001 sudah terdeteksi di negara bagian Florida, kemudian di ahir tahun 2003 virus WN sudah mulai terdeteksi di Meksiko dan Karibia bahkan juga telah mencapai Argentina (LORONO-PINO et al., 2003; GOULD dan HIGGS, 2009).

Hal yang menarik adalah bahwa virus ini sering dapat diisolasi dari burung yang sakit maupun sehat, sehingga burung yang bermigrasi dianggap sebagai sumber penularan yang pola penyebarannya mengikuti rute migrasi burung tersebut. Dapat dikatakan bahwa burung yang bermigrasi tersebut berperan sebagai kendaraan dari penyebaran virus WN (OWEN et al., 2006). 

Hasil penelitian yang juga cukup menarik adalah bahwa vektor berupa Cx. pipiens dan Cx. tarsalis di California dapat mengalihkan pola makannya dari burung/unggas ke mamalia, hal ini terjadi apabila burung tersebut bermigrasi pada akhir musim panas. Oleh karena itu, kejadian epidemik penyakit WN pada spesies burung banyak terjadi pada awal musim panas dimana banyak nyamuk telah mengandung virus WN dari menggigit unggas/burung, sedangkan epidemik pada manusia banyak terjadi pada akhir musim panas (KILPATRICK et al., 2006 dalam GOULD dan HIGGS, 2009).

Penyakit Rift Valley Fever(RVF)
Penyakit Rift Valley Fever (RVF) adalah penyakit viral yang menyerang hewan maupun manusia yang disebabkan oleh virus dari genus Phlebovirus dari famili Bunyaviridae. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1931 pada kejadian epidemik disuatu peternakan di Rift Valley di Kenya (DAUBNEY et al., 1931 yang dikutip GOULD dan HIGGS, 2009). Penyakit ini utamanya ditularkan kepada hewan dan manusia oleh nyamuk Aedes spp., dan dapat menyebabkan penyakit yang serius yang ditandai dengan tingginya kejadian keguguran dan bisa mengakibatkan kematian.

Manusia bisa tertular apabila berada pada lokasi tersebut dan terkena gigitan nyamuk yang mengandung virus RVF. Biasanya kasus pada manusia umumnya ringan tetapi pada beberapa individu peka dapat menimbulkan gejala penyakit yang berat. Penyakit RVF terus menyebar di Afrika Utara sehingga terjadi di Mesir pada ahir tahun 1977 dimana terjadi epizootik yang dramatis yang menyebabkan 600 orang meninggal dan lebih dari 60.000 orang memperlihatkan gejala klinis yang berat (MEEGAN, 1979; MEEGAN et al., 1979). 

Dari berbagai kejadian wabah penyakit RVF ternyata munculnya mengikuti tingginya curah hujan dan biasanya ada hubungan dengan terjadinya genangan air di daratan yang cukup lama yang terkait erat dengan perkembangbiakan vektor (nyamuk). Proyek irigasi selama abad ke-20 di Afrika memicu terjadinya wabah penyakit RVF karena bermunculannya nyamuk dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini juga telah dibuktikan melalui suatu pembentukan genangan air buatan di daerah epizootik di Kenya, ternyata jutaan larva Ae.mcintoshi menetas dan virus RVF dapat diisolasi dari nyamuk dewasa termasuk nyamuk jantan.

Dengan demikian penularan transovarial virus memberikan suatu penjelasan yang dapat diterima akal (GOULD danHIGGS, 2009). Umumnya RVF terjadi di pedesaan dan semi-rural, bukan diperkotaan, dan kejadian epizootik pada ternak terutama pada beberapa bangsa ternak yang di impor. Kejadian pada manusia biasanya terjadi pada manusia yang karena pekerjaannya mempunyai hubungan dengan ternak tersebut, seperti penggembala ternak, pekerja kandang, pekerja rumah potong hewan (RPH), atau tinggal bersama ternaktersebut sehingga terjadi infeksi melalui kontak dengan ekskreta atau darah atau jaringan dari hewan yang terinfeksi. 

Penularan kepada manusia bisa juga karena terpapar terhadap gigitan dari nyamuk yang telah terinfeksi dengan virus RVF. Karena penyakit RVF ini ditularkan oleh nyamuk Aedes spp. sebagai vektor, maka kondisi iklim merupakan pemicu timbulnya penyakit RVF.

Oleh karena itu, secara teori penyakit RVF ini memungkinkan untuk tersebar sampai negara di Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Disamping itu, selain faktor perubahan iklim, faktor lain seperti perpindahan hewan yang terinfeksi melalui perdagangan (ekspor/ impor) atau melalui terbawanya vektor nyamuk yang kompeten ke daerah yang bukan epidemik RVF dan menyebar di luar batas geografisnya. 

Kesimpulan Dari uraian yang telah dikemukakan ini dapat disimpulkan bahwa terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim, paling tidak terdapat 5 (lima) penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang perlu diwaspadai dapat muncul dan mewabah di Indonesia, yaitu bluetongue, Nipah, Japanese encephalitis, West NiledanRift Valley fever.  Hal ini dikarenakan tiga dari lima PHMS tersebut (BT, JE dan Nipah) baik agen patogen, vektor dan hospesnya sudah terdapat di Indonesia, sehingga dikhawatirkan bahwa perubahan iklim dan perubahan ekologi yang terjadi akan memicu munculnya penyakit tersebut. 

Sedangkan dua PHMS lainnya (WN dan RVF) yang sudah menyebar di berbagai negara juga mempunyai peluang masuk ke Indonesia melalui migrasi burung atau perdagangan komoditas ternak internasional maupun transportasi global dari negara tertular, dimana vektor dari kedua penyakit tersebut diduga terdapat di Indonesia. Selain itu tiga (3) penyakit lainnya (avian influenza H5N1, anthrax dan leptospirosis) yang memang sudah ada di Indonesia dapat diperkirakan juga akan sering muncul seiring dengan terjadinya perubahan iklim terutama pada musim hujan yang berkepanjangan. 

Pada kesempatan ini diperlukan membangun program surveilans terhadap berbagai penyakit hewan yang mempunyai kemungkinan untuk masuk ke Indonesia, juga harus dikuasai teknik deteksi agen patogen maupun uji serologi terhadap antibodi dari agen patogen tersebut secara dini. Dengan demikian pencegahan dapat dilakukan apabila deteksi dini dapat dilakukan.

Untuk mengantisipasi munculnya penyakit tersebut di atas, maka pemerintah perlu memperkuat perkarantinaan hewan nasional di pelabuhan atau pintu masuk bagi kegiatan ekspor – impor dan juga memperkuat sistem pelayanan kesehatan hewan nasional sehingga kemampuan mengenal penyakit dan memberikan respon cepat secara dini dapat dilakukan.

Sumber:
Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Strategis Di Indonesia Terkait Dengan Pemanasan Global Dan Perubahan Iklim
Sjamsul Bahri, T. Syafriati, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Foto: Pexels.com