gudnyus
28 April 2020, 12:51 WIB
Last Updated 2020-06-20T06:31:44Z
InsightOpini

Menjawab Nyinyir ‘Masjid Ditutup Kok Pasar Masih Dibuka?’

Advertisement

Gudnyus.id - Sejak meluasnya pandemi coronavirus disease (COVID-19) di sejumlah wilayah di Indonesia, Kementerian Agama mengeluarkan surat edaran untuk pengurus masjid agar meniadakan aktifitas ibadah berjamaah di masjid. Langkah ini pun didukung dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menganjurkan masyarakat agar sementara ini sholat di rumah selama adanya wabah corona.

Bahkan hingga bulan ramadhan tiba, umat islam tetap diminta untuk tidak ke masjid agar memutus mata rantai penyebaran virus corona. Sayangnya tidak semua pihak mampu menerima keputusan Kemenag dan MUI tersebut.

Ada banyak masjid yang masih menggelar sholat berjamaah dan beragam nyinyiran dilemparkan ke Kemenag dan MUI. Mereka tidak terima masjid ditutup sedangkan sejumlah tempat keramaian lainnya masih dibiarkan terbuka.

Berikut tulisan yang menjawab nyinyiran kenapa masjid ditutup sementara tempat keramaian lain seperti pasar justru dibiarkan terbuka:

Ada yang bilang begini

“Keluar rumah berani. Ke pasar berani. Ke ruang publik berani. Giliran ke Masjid takut corona...?”

“Tidak berjama’ah ke Masjid, tapi masih keluar buat bekerja. Situ waras?”

“Ke ATM berani, ke pasar berani, ke warung berani…Giliran ke Masjid ga berani takut corona katanya… Antum Waras?”

Mari coba kita pelajari dan luruskan. Komentar-komentar di atas, didasari oleh analogi (qiyas) antara masjid dan pasar. Apakah analogi tersebut sudah tepat?

Tepat tidaknya, silahkan simpulkan sendiri setelah membaca catatan-catatan berikut :

Pertama,

Menganalogikan pasar dengan Masjid, adalah bentuk perendahan kepada kemuliaan Masjid. Kami teringat sebuah syair yang sangat menyinggung tentang hal ini,

Bagaimana bisa dikatakan purnama lebih terang dari bintang kecil. Dan kerikil permata berharga dari kerikil. Bukankah martabat pedang akan berkurang, saat dikatakan pedang lebih tajam dari kayu?!

Masjid adalah tempat yang paling dicintai Allah. Sementara pasar adalah tempat yang paling dibenci oleh Allah. Bagaimana bisa kedua hal ini dibandingkan?

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid – masjid. Adapun tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasar. (HR. Muslim)

Bagaimana bisa dibandingkan, tempat turunnya rahmat Allah dan para malaikat, dengan tempat berkumpulnya maksiat dan kefasikan (kecuali yang dirahmati Allah)? Ini alasan pertama bahwa analogi masjid dengan pasar dalam kasus corona, tidak nyambung atau apple to apple.

Kedua,

Masjid ada pengganti, sementara pasar tidak. Melaksanakan shalat, bisa dimanapun asalkan tempatnya suci. Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang mengatakan, “Seluruh bumi telah dijadikan tempat sujud (masjid) untukku, dan sarana bersuci.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sementara pasar tidak sefleksibel tempat shalat. Pasar tidak bisa digantikan. Masyarakat butuh makanan pokok, kebutuhan sehari-hari, obat-obatan dan lainnya. Mereka tak bisa menemukan itu di rumah, di sawah, di hutan, di gunung, di gua, di tengah gurun pasir. Itu semua hanya bisa didapatkan di pasar.

Sehingga meski masjid ditutup karena alasan pencegahan corona, ibadah shalat tetap bisa dilaksanakan di rumah. Adapun jika pasar, toko, mall semua ditutup, kebutuhan makan dan kesehatan masyarakat tidak bisa terpenuhi. Padahal menjaga nyawa juga kewajiban.

Oleh karenanya para ulama hanya menghimbau menutup masjid, bukan pasar. Karena kewajiban melaksanakan shalat di masjid dapat tergantikan, masih bisa ditunaikan di tempat selain masjid. Sementara kewajiban memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, tak dapat tergantikan, hanya bisa didapat di pasar, tak bisa digantikan.

Ketiga,

Perkumpulan massa di masjid, sifatnya berulang setiap hari, sementara di pasar, tidak. Di masjid kita berkumpul dengan jama’ah lainnya setiap hari, bahkan sehari lima kali. Sementara orang belanja ke pasar tidak setiap hari, cukup sepekan sekali atau dua pekan sekali atau sebulan sekali.

Keempat,

Physical distancing sangat susah dilakukan di masjid, sementara di pasar lebih mudah. WHO merekomendasikan menjaga jarak fisik sekurangnya satu meter, dalam rangka pencegahan virus Corona. Karena jangkauan drobplet yang menjadi media penyebaran virus Corona, adalah sekitar satu meter.

Di masjid kita dituntut untuk merapatkan shaf, atau setidaknya berdekatan. Kemudian karpet, sajadah masjid atau lantai tempat sujud, berhubungan langsung dengan mulut dan hidung, yang menjadi sumber penyebaran dan penularan virus Corona. Ini menyebabkan penyebaran corona lebih cepat di masjid. Adapun di pasar, physical distancing lebih mudah diupayakan. Karena ruangnya yang lebih luas.

Wallahua’lam bis shawab.

Referensi : Matsarot Al-Gholat fil Istidlal ‘Ala Ighlaaqi Al-Masajid Li ajli Corona, karya Syaikh Dr. Muhammad Al-Mula Al-Jufairi.
Ditulis oleh : Ahmad Anshori