Advertisement
Gudnyus.id - Sandiaga Uno dapat mengangkat, menyemburkan masalah yang benar-benar dihadapi rakyat di lapangan. Contoh pamungkas yang beliau hadirkan dalam debat seperti problem BPJS dan menyelesaikan dengan terukur, janji kesejahteraan guru honorer, menurunkan tarif listrik, bahan pokok, meningkatkan lapangan kerja.
Sandi mencoba berselancar pada emosi, kegelisahan dan apa yang selama ini “menghantui” masyarakat selama ini soal naiknya beban biaya hidup dan makin sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Kiyai ma'ruf yang dikira akan banyak diam ternyata “mampu” menjawab dengan baik, seolah-olah sudah paham apa saja yang sudah dilakukan pemerintah Jokowi-JK. Seringkali Kiyai Ma’ruf Amin memainkan peran sesuai demgan keilmuan dan perannya sebagai ulama, membacakan serentetan Ayat Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam konteks ini, Kiyai Ma'ruf menonjolkan sisi-sisi keislamannya. Banyak menggunakan istilah atau bahasa Arab. Tampak ini merupakan salah satu strategi untuk mengeruk suara segmen mayoritas.
Mengunakan kata “bersyukur” mengajak masyarakat bersyukur atas capaian dan prestasi pemerintah selama, mensosialisasikan apa saja yang menjadi keberhasilan pemerintah selama ini, harapan masyarakat puas dengan kinerja pemerintah.
Kiyai Ma’ruf Amin tampil lebih baik, menjawab ekspektasi publik selama ini yang meremehkan beliau, ternyata beliau bicara dan tampil dengan baik, terukur dan tertata. Berbeda jauh dan tidak seperti pada debat kedua capres-cawapres, terlihat diam dan tak banyak bicara.
Sementara Sandi lebih banyak menonjolkan permasalahan di depan mata yang sedang dihadapi rakyat, beban rakyat. Sandi mendapatkan informasi dari hasil observasi dan kunjunganya menjemputkan aspirasi masyarakat selama ini di lapangan, seolah-olah menonjolkan bahwa beliau sangat paham permasalahan yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat dan menawarkan solusi bagaimana mengurai/menyelesaikan silang sengkarut masalah dari level hulu sampai hilir.
Kiyai Ma'ruf juga mengeluarkan istilah-istilah anak muda millenial kekinian “ten years chalenge dan Dudi” menampakkan bahwa beliau juga menguasai bahasa-bahasa kece kekinian untuk melirik, penetrasi ceruk segmen milenial.
Untuk keseluruhan, kita harus akui, bahwa Sandi memang lebih menguasai debat kedua ini, baik dari segi konten, narasi, ketepatan waktu, kesesuain tema dengan isi, nyambung antara kesesuaian pertanyaan dan jawaban, sistematika alur berfikir, berbicara teratur, terstruktur dan terukur, artikulasi, intonasi suara, kedalaman materi, gaya dan mimmick wajah/bahasa tubuh mereka yang enak dipandang “good looking”.
Karena memang dari sisi usia Sandi lebih muda, sosok yang masih enerjik dan punya banyak pengalaman dalan tema debat kali ini. Persoalan-persoalan dan janji-janji yang disampaikan Sandi saat debat tampaknya ingin menyasar segmen masyarakat yang belum puas dengan kondisi saat ini, sehingga penampilan Sandi pada debat ketiga bisa mengubah pilihan masyarakat “undecided voter”.
Sedangkan Kiyai Ma'ruf unggul dalam memperlihatkan sosok kiyai yang disegani, dengan istilah-istilah Arabnya, dengan ayat-ayat dan hadist, beliau terlihat lancar membicarakan program-program yang dilakukan pemerintah Jokowi-JK, dan janji-janji untuk melanjutkan dan memaksimalkan usaha perbaikan yang bangsa berikutnya.
Sandi terlihat lebih santun, menghargai kiyai, sangat hormat dan menampilkan atraksi akhlakul karimah, Akhlak mulia atau sikap terpuji, cium tangan kiyai, seringkali menyampaikan ucapan “minta maaf pak kiyai” sebelum menyampaikan jawaban/pernyataan atau pertanyaan.
Saya pikir debat cawapres ketiga jauh lebih bermartabat, saling menghormati dan tidak menyerang pribadi, berbeda jauh dengan debat capres yang terkesan menampilkan degalan menyerang, merendahkan, ingin “mempermalukan” dan ingin sekali memojokkan lawan debat.
Kita paham bahwa panggung debat adalah panggung bagaimana “memenangkan hati rakyat” dan empati rakyat tidak melulu hanya soal bagaimana nampak menang menguasai panggung debat dan juga tanding skor.
Dari segi gaya bahasa, pada debat pamungkas, baru ada saling sindir, itu pun penuh peradaban. Sandi terlihat sangat antusias mendengar apa yang disampaikan pak Kiyai Ma’ruf Amin, tidak terlihat meremehkan apalagi menyerang secara pribadi.
Tetap ada serangan dari Sandi soal terlalu banyak kartu selama ini, menyampaikan dengan bijak. Kartu selama ini membebani keuangan negara, “menggapa tidak memakai kartu super cangih yang sudah memiliki chip yaitu KTP, semuanya bisa menghadirkan layanan terbaik bagi kebutuhan rakyat”.
Begitu juga kiyai menyerang Sandi soal “stunting” yang sudah gawat darurat, diungkapkan dengan bijak. Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 Ma'ruf Amin mengkritik sedekah putih Sandi, beliau mengkritik tidak tepat memberikan sedekah susu setelah anak itu selesai disusui oleh ibunya selama 2 tahun.
Gimmick gaya untuk kedua paslon sama-sama santun dan tidak ada menyerang personal. Sandi lebih menonjol dari gimmick posisi berdiri, gaya bahasa dengan banyak mencontohkan kasus, menyampaikan dengan tenang, layaknya pimpinan perusahaan mempresentasikan perusahaannya.
Keduanya memainkan bahasa tubuh saling menghargai, layaknya guru dan murid saat proses belajar-mengajar. Ketika Ma’ruf bicara, Sandi dengan konsentrasi tingkat tinggi mendengar dan mencatat, begitu juga Ma’ruf mendengar Sandi dengan seksama.
Konteks ketapatan waktu, Sandi lebih memaksimalkan waktu yang tersisa dengan baik, Kiyai Ma’ruf Amin masih kurang maksimal mengunakan waktu yang tersisa, walaupun beberapa segmen kita harus akui, Kiyai Ma’ruf Amin mengunakan waktu yang tersisa dengan baik.
Ditulis Oleh:
Pangi Syarwi Chaniago
Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting