gudnyus
28 Juni 2019, 11:51 WIB
Last Updated 2020-06-20T06:49:19Z
InsightOpini

Hidup Minimalis, Semakin Sedikit Barang, Semakin Tinggi Kebahagiaan

Advertisement

Gudnyus.id - Belakangan ini, muncul sebuah gaya hidup baru bernama, "minimalism". Salah satu buku yang bicara tentang konsep minimalism ini berjudul "Goodbye Things" tulisan Fumio Sasaki. Ini nanti agak nyambung dengan konsep beres-beres yang diperkenalkan Marie Kondo dengan "the life-changing magic of tidying up" nya. Karena Marie Kondo juga bicara tentang "membuang barang".

Dari namanya, kita bisa tebak bahwa mereka jelas bukan orang Batak atau orang Jawa. Konsep minimalisme ini intinya adalah gaya hidup menyedikitkan benda-benda di sekitar kita. Apapun benda yang nggak benar-benar kita butuhkan, sebaiknya nggak perlu ada di sekitar kita. Atau seandainya dibutuhkan, tapi kita masih bisa hidup tanpa benda itu, pun sebaiknya ditiadakan.

Konsep ini mengingatkan saya pada sebuah kisah. Ada seorang pemuda yang sedang berkelana, lalu sang pemuda ini berhenti di sebuah masjid untuk shalat Jum'at. Khutbah sang Khatib rupanya sangat menyentuh sang pemuda. Usai shalat, si pemuda menghampiri sang khatib, lalu memperkenalkan diri.

Sang imam & khatib itu mengajak si pemuda ke rumahnya. Sesampainya di rumah, si pemuda kebingungan melihat pemandangan rumah itu. Tak ada perabotan seperti rumah pada umumnya. Cuma ada lantai terbentang dengan karpet seadanya di atasnya.

Si pemuda tak kuat menahan penasaran untuk bertanya. "Kemana perabotan rumah ini pak?"
Tapi tak menjawab pertanyaan itu, sang khatib malah bertanya balik, "Kalau engkau, kemana perabotanmu nak?"
Si pemuda itu malah bingung ditanya balik begitu. "Lho pak, saya ini kan musafir."

Sang khatib itu menjawab, "Sama nak. Saya juga musafir."

Saya curiga, konsep minimalisme ini bukan bahasan baru dalam agama ini. Bahwa seorang muslim, mestinya memang sangat sederhana cara berpikirnya. Kita mungkin ingat kisah Rasulullah yang sedang shalat, lalu sayyidah 'Aisyah yang terbangun tidur, lalu memegang kaki Rasulullah.

Memang belum pernah saya mendapatkan informasi "grebek rumah" Rasulullah. Tapi adegan ini, menyimpulkan bahwa tak ada tempat tidur di kamar Rasulullah. Begitu logika sederhana saya. Saya kok ragu bahwa Rasulullah nggak mampu beli tempat tidur di kamarnya.

Dan itu yang sedang diulang orang-orang Jepang ini. Orientasi mereka adalah kebahagiaan hidup. Katanya, semakin sedikit barang yang ada di rumah mereka, semakin tinggi kualitas kebahagiaan hidup mereka. Mas Fumio Sasaki itu bilang, "kenapa kita lebih tenang ada di kamar hotel?" jawabannya, karena di kamar hotel paling banter cuma ada kasur, TV & AC, rak kosong, sabun sampo sebiji, sikat dan pasta gigi. Udah itu doang.

Dalam konteks status sosial, sudah nggak zaman lagi orang kaya punya banyak barang. Dulu, semakin banyak benda berharga yang ada di rumah seseorang, semakin tinggi status sosialnya. Sekarang, udah nggak relevan lagi. Karena kebanyakan orang kaya -kalau level pendidikannya bagus- akan memilih cara hidup yang minimalis ini. Semakin sedikit barangnya, semakin sederhana cara berpikirnya, semakin tenang dan berkualitas hidupnya.

Penulis: Syamsuryadi Rasyad