Bhama
10 Maret 2020, 11:59 WIB
Last Updated 2020-03-11T05:00:38Z
Insight

Dibalik Stress Dan Sikap Emosional Karyawan

Advertisement

Gudnyus.id - Sumber daya manusia merupakan aset paling penting dalam suatu organisasi karena merupakan sumber daya yang mengarahkan organisasi serta mempertahankan dan mengembangkan organisasi dalam berbagai tuntutan masyarakat dan zaman. Oleh karena itu, sumber daya manusia harus selalu diperhatikan, dijaga, dan dikembangkan. 

Peningkatan kinerja karyawan secara perorangan akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan, yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas. Kinerja karyawan yang tinggi akan membuat karyawan semakin loyal terhadap organisasi, semakin termotivasi untuk bekerja, bekerja dengan merasa senang dan yang lebih penting kepuasan kerja yang tinggi akan memperbesar kemungkinan tercapainya produktivitas yang tinggi pula.

Namun fakta yang ada sekarang memperlihatkan bahwa belum semua karyawan memiliki kinerja yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan. Masih banyak terdapat karyawan yang memiliki kinerja yang rendah. Berdasarkan peringkat indeks kinerja yang telah dilakukan World Investment Report (WIR) tahun 2003, indeks kinerja Indonesia menempati urutan ke 138 dari 140 negara.

Peringkat ini dengan memperhatikan indikator tingkat kehadiran, kualitas pekerjaan (profesionalisme dalam bekerja), dan kuantitas pekerjaan karyawan Indonesia yang masih tergolong rendah. (Yuli, 2004).

Salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor tenaga kerja atau manusia (individu itu sendiri). Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan kinerja, maka salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang karyawan adalah kualitas emosional.

Kualitas-kualitas tersebut antara lain empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, serta sikap hormat. 

Damasio (dalam Goleman, 1997) mengatakan bahwa emosi berperan besar terhadap suatu tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan “rasional”. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu individu dalam mengatasi konflik secara tepat dan menciptakan kondisi kerja yang menggairahkan sehingga menghasilkan prestasi kerja yang tinggi pula.

Sedangkan kecerdasan emosional yang rendah akan berdampak buruk pada mereka, karena individu kurang dapat mengambil keputusan secara rasional dan tidak bisa menghadapi konflik secara tepat. 

Masalah stres kerja di dalam organisasi menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya.

Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stress yaitu meliputi konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity).

Goleman (1997), menyatakan bahwa kecerdasan emosi yang ada pada seseorang adalah mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Salovey (dalm Goleman, 1999), bila seseorang dapat memotivasi diri sendiri memungkinkan kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Di sisi lain bahwa individu yang mempunyai ketrampilan kecerdasan emosi yang lebih produktif dan efektif dalam hal apapun akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. 

Kecerdasan emosi menentukan potensi individu untuk mempelajari keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsur yaitu kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Kecakapan emosi adalah kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosi dan karena itu menghasilkan kinerja menonjol dalam pekerjaan. Inti kecakapan ini adalah dua kemampuan yaitu empati, yang melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain; dan ketrampilan sosial, yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.

Atmadji (2003) tentang hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi kerja Multi Level Marketing, menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dan prestasi kerja Multi Level Marketing. Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosional, maka semakin tinggi prestasi kerja distributor tersebut dan sebaliknya. 

Hal ini sesuai seperti yang diungkapkan oleh Shapiro (1997) bahwa kecerdasan emosional akan memengaruhi perilaku tiap individu dalam mengatasi permasalahan yang muncul pada diri sendiri termasuk dalam permasalahan kerja. Kecerdasan emosional lebih memungkinkan seorang karyawan mencapai tujuannya.

Kesadaran diri, penguasaan diri, empati dan kemampuan sosial yang baik merupakan kemampuan yang sangat mendukung karyawan didalam pekerjaannya yang penuh tantangan serta persaingan diantara rekan kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional sangat dibutuhkan oleh setiap karyawan untuk meningkatkan kinerjanya. 

Adanya kecerdasan emosional yang tinggi, individu akan memiliki kestabilan emosi. Kestabilan merupakan kemampuan individu dalam memberikan respon yang memuaskan dan kemampuan dalam mengendalikan emosinya sehingga mencapai suatu kematangan perilaku. 

Menurut Cooper dan Sawaf (1999), berbagai penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional menyumbang persentase yang lebih besar dalam kemajuan dan keberhasilan masa depan seseorang, dibandingkan dengan kecerdasan intelektual yang biasanya diukur dengan Intelligent Quotient (IQ). Penelitian yang dilakukan oleh Yen, Tjahjoanggoro dan 

Menurut Selye (dalam Adi, 2000), stres dapat bersifat positif maupun negatif. Stres yang bersifat positif disebut “eustres” yakni mendorong manusia untuk lebih dapat berprestasi, lebih tertantang untuk menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapinya, meningkatkan kinerja dan lain-lain.

Sebaliknya, stres yang berlebihan dan bersifat merugikan disebut “distress” menimbulkan berbagai macam gejala yang umumnya merugikan kinerja karyawan. Gejala-gejala “distress” melibatkan baik kesehatan fisik maupun psikis. Beberapa contoh gejala  “distress” antara lain adalah gairah kerja menurun, sering membolos atau tidak masuk kerja, tekanan darah tinggi, gangguan pada alat pencernaan, dan lain sebagainya. 

Hal yang sama dinyatakan oleh Rosidah (2003) dalam temuannya yang menunjukkan ada korelasi negatif antara stres kerja dengan kinerja pada karyawan, yang berarti semakin tinggi stres kerja maka akan semakin rendah kinerja karyawan.  Hal ini didukung oleh hasil penelitian Adi (2000) yang dipublikasikan dalam jurnalnya yang menunjukkan bahwa stres kerja yang sangat tinggi dapat berakibat negatif terhadap kinerja. 

Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketegangan karena adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi dirinya. Kondisi-kondisi tersebut dapat ditimbulkan dari dalam diri individu maupun dari lingkungan di luar diri individu.

Di dalam organisasi kerja, individu selalu berinteraksi dengan lingkungannya, tetapi interaksi tersebut tidak selalu menguntungkan. Interaksi yang pas akan menghasilkan performansi tinggi, kepuasan dan tingkat stres yang rendah, sebaliknya ketidakharmonisan interaksi menyebabkan performansi kerja yang buruk, ketidakpuasan dan tingkat stres yang tinggi (Muchinsky dalam Diahsari, 2001). 

Seringkali stres timbul karena adanya perubahan sehingga menganggu keseimbangan tubuh manusia atau dapat pula karena adanya tekanan-tekanan baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Hal ini akan berakibat negatif terhadap kinerja karyawan apabila yang terjadi adalah distress (stres kerja negatif). 

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan yaitu (1) terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dan stres kerja dengan kinerja. (2) terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan kinerja di mana semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin tinggi kinerja karyawan, dan (3) terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara stres kerja dengan kinerja di mana semakin tinggi stres kerja maka semakin rendah kinerja karyawan.  

Sumber:
KECERDASAN EMOSI, STRES KERJA DAN KINERJA KARYAWAN 
Reni Hidyati, Yadi Purwanto, Susantoo Yuwono, Universitas Muhammadiyah Surakarta 
Foto: Pexels.com