gudnyus
17 Juli 2021, 11:47 WIB
Last Updated 2021-07-17T04:47:37Z
Ragam

Dulu Jadi PRT di Malaysia dan Dikhianati Suami, Kini Holisa Miliki Bisnis Kerajinan Beromset Ratusan Juta

Advertisement


Gudnyus.id - Tujuh tahun menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) membuat Holisa cukup merasakan pahit dan manisnya hidup dan bekerja di negara penempatan. Tak hanya bekerja, selama itu, Lisa juga serius mengembangkan ketrampilan untuk bekal setelah pulang ke kampung halaman.

Dinukil dari Kompas.com, Perempuan asal Desa Sumberlesung, Kecamatan Ledokombo, itu terpaksa merantau karena desakan ekonomi sejak 1995 hingga 2002. Ia berangkat hanya mengandalkan satu lembar ijazah sekolah dasar (SD).

Ia ingin merubah nasib ekonominya menjadi lebih baik. Sebab, di desa, sulit menemukan pekerjaan. Terpaksa, ia harus meninggalkan keluarga menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Negeri Jiran. Holisa bercerita tentang kisahnya bekerja sebagai PMI. Saat itu, dia bekerja sebagai pembantu di salah satu rumah warga Malaysia.

Namun, setahun setelah bekerja, ia tidak digaji. Akhirnya, melarikan diri dari rumah majikan tanpa tujuan yang jelas.  Dalam pelarian itu, Holisa ditolong oleh seorang sopir di tengah jalan. Sang sopir menawari Holisa bekerja di restoran.

Namun, pemilik restoran menolak karena Elisa merupakan seorang pelarian.

“Akhirnya saya datang ke kantor polisi di sana,” tutur Lisa, Kamis (04/03/2021).

Setelah itu, polisi mengantarnya ke kantor imigrasi. Di sanalah ia mendapat tawaran untuk bekerja di pabrik garmen di Perlis Malaysia. Lisa menerima tawaran pekerjaan itu dan mulai bekerja kembali.

Bekerja sambil belajar
Selama bekerja di perusahaan garmen, Lisa mendapat kepercayaan dari majikannya untuk hadir ke berbagai kegiatan mewakili perusahaan. Bahkan, tak hanya di Malaysia, namum hingga keluar negeri.

Selain sibuk bekerja, Lisa juga menyisihkan gajinya untuk kursus bahasa Inggris. Sebab, ketika bertemu dengan pengusaha di Malaysia, ada yang menggunakan bahasa Inggris.

Sisa penghasilannya juga ditabung sebagai bekal modal usaha ketika pulang kampung. Karena pengeluaran itu, ia tidak bisa mengirim uang pada keluarganya di Jember selama dua tahun.

Perempuan kelahiran 12 Agustus 1975 ini terus mengasah keterampilannya, belajar cara berbisnis. Mulai dari cara berkomunikasi hingga mendesain kerajinan. Ia tak ingin menjadi pekerja migran selamanya. Namun, tetap ingin kembali ke kampung halaman berkumpul bersama keluarga.  Setelah cukup lama di Malaysia, Lisa pulang ke tanah kelahirannya pada tahun 2002.

Tiba di kampung halaman, dia menemukan sang suami sudah menikah lagi dengan orang lain. Namun, ia tak putus asa dan menyerah.  Lisa mencoba memulai usaha dengan membuat kerajinan kalung, gelang, anting dan berbagai aksesoris lainnya. Kerajinan itu diberi nama Elisa Rainbow.

Ia mengajak tetangga sekitar untuk ikut membantunya. Setelah itu, Kerajinan dijual ke Bali. Bahkan, modal uang yang dibawa dari Malaysia digunakan untuk menyewa ruko di Bali guna memasarkan produknya.

Dari situ, produk kerajinan miliknya dikenal banyak orang. Sebab, banyak turis asing yang tertarik untuk membeli. Beruntung, Lisa menguasai bahasa Inggris karena ikut kursus ketika di Malaysia.

Dia menggunakan kemampuannya itu untuk berkomunikasi dengan turis. Berkenalan dengan para pembeli dari berbagai Negara.

“Dari sana produk saya semakin dikenal pembeli turis asing,” ucap dia.

Persoalan keluarga sempat membuat bisnis miliknya bangkrut pada tahun 2009. Tapi, Lisa tak menyerah, dia tetap bangkit. Beruntung, ada sahabat dan rekan bisnisnya asal Australia yang menolongnya. Yakni memberikan pinjaman uang agar membangun kembali usahanya.

Berdayakan 300 pekerja mantan PMI
Kerajinan yang dibuat oleh Holisa terus berkembang sampai sekarang. Bahkan, sudah ada 300 karyawan yang bekerja padanya. Di antara mereka, banyak pekerja mantan PMI. Sebab, Kecamatan Ledokombo merupakan daerah yang warganya menjadi pekerja migran.

“Ada TKW yang baru pulang tahun 2020 kemarin, saya ajak bergabung,” tutur dia.

Sebab, PMI tersebut tidak berhasil bekerja di tanah rantau lalu kembali. Akhirnya Lisa memberikan semangat agar tidak menyerah mencari uang dan mengajaknya bergabung.

Selain PMI, ada juga warga sekitar yang membutuhkan pekerjaan. Awalnya banyak mengakomodir kalangan perempuan. Namun, karena pandemi Covid-19, juga mengakomodir para lelaki.

“Karena mereka biasanya kerja kuli bangunan ke Bali, sekarang berkurang,” tambah dia.

Pekerjaan membuat kalung, gelang serta aksesoris lainnya itu bisa dibuat di rumah masing-masing, yakni merangkai kalung hingga gelang.  Dalam sehari, para pekerja mampu membuat masing-masing 1.000 potong kalung dan gelang, 500 anting.

Bahan kerajinan diambil dari rumah Lisa, lalu dibawa pulang untuk dikerjakan di rumah para pekerja.  Mereka bisa bekerja bersama keluarganya. Tanpa harus merantau ke negara lain meninggalkan keluarga.

Penghasilan mereka beragam, tergantung jumlah produksinya. Ada yang seminggu mendapat Rp 600.000.
 
Dijual ke 17 negara
Kerajinan yang dibuat oleh Holisa sudah diekspor ke ke 17 negara. Mulai dari China, Prancis, USA, Kostarika, Swedia, Inggris, Selandia Baru, Jepang, Australia, Spanyol, Dubai, Jerman, Malaysia, Singapore, Thailand, Korea hinga Italia.

“Senin kemarin saya kirim ke Amerika dan China,” kata dia.

Ia mengirim sebanyak enam boks atau sekitar 100 kilogram kerajinan berupa jepit rambut.  Di 17 negara itu, produk kerajinan miliknya sudah memiliki pembeli tetap. Untuk itu, pengiriman dilakukan ketika stok di negara yang bersangkutan sudah habis. Misal, pengiriman ke Perancis dikirim selama tiga bulan sekali.

Bahkan, kadang Holisa mengirim sendiri barangnya ke China sambil membeli tambahan bahan kerajinan.

“Awal Covid-19 sempat terganggu, namun sekarang sudah normal lagi,” kata dia.

Ajak PMI pulang kampung
Selain di Jember, Lisa juga sudah memiliki tempat produksi di Rogojampi Banyuwangi. Dia terus mengembangkan usahanya agar bisa membantu banyak orang dalam mencari pekerjaan. Untuk itu, dia terus mempromosikan kerajinan miliknya via online.

Ia mengajak tetangganya yang menjadi  PMI agar pulang kampung, ikut mengembangkan kerajinan miliknya. Sebab, pengalaman pahit menjadi PMI cukup dirinya yang merasakan. Dia ingin membantu sesama meringankan beban ekonomi warga.

Lisa berharap warga desa tak lagi bekerja menjadi pekerja migran. Namun, bekerja di tanah kelahiran agar bisa berkumpul bersama keluarga.