5 Desember 2025, 05:45 WIB
Last Updated 2025-12-04T22:45:15Z
Opini

Mewujudkan Masyarakat Inklusif untuk Semua (Refleksi Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2025)

Advertisement

Oleh: Raja Dachroni

Ayah Empat Anak dan Pemerhati Penyandang Disabilitas 


Isu disabilitas kerap kali muncul dalam wacana publik, namun tidak selalu menjadi perhatian yang konsisten. Padahal, penyandang disabilitas merupakan bagian integral dari masyarakat yang memiliki hak, potensi, dan kontribusi yang sama pentingnya dalam pembangunan. Menurut berbagai laporan internasional, sekitar 15 persen populasi dunia adalah penyandang disabilitas. Artinya, satu dari tujuh orang di sekitar kita hidup dengan kondisi yang membutuhkan pendekatan khusus agar mereka dapat berpartisipasi secara optimal dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan jumlah yang signifikan ini, keberpihakan terhadap kelompok disabilitas bukanlah semata tindakan belas kasihan, melainkan keharusan moral dan konstitusional.

Di Indonesia sendiri, peningkatan perhatian terhadap penyandang disabilitas telah terdorong oleh lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini menjadi tonggak penting dalam memandang disabilitas sebagai persoalan hak asasi manusia (HAM), bukan persoalan medis semata. Namun, meski kerangka hukum telah berubah, praktik sehari-hari di masyarakat sering kali masih memperlihatkan adanya jarak antara regulasi dan realitas. Banyak penyandang disabilitas masih menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan, mendapatkan pekerjaan layak, menggunakan transportasi publik, bahkan dalam memperoleh perlakuan yang manusiawi.

Tantangan tersebut menunjukkan bahwa urusan disabilitas tidak dapat diselesaikan hanya melalui regulasi. Yang diperlukan adalah transformasi cara pandang masyarakat. Penyandang disabilitas bukan objek bantuan, tetapi subjek yang memiliki hak untuk diberdayakan dan dilibatkan. Perubahan cara pandang ini sangat penting karena diskriminasi sering kali berakar pada stereotip, kesalahpahaman, dan ketidaktahuan.

Selain itu, masyarakat yang inklusif bukan hanya menguntungkan penyandang disabilitas, tetapi juga bermanfaat bagi semua individu. Infrastruktur yang ramah disabilitas, misalnya, membuat ruang publik lebih nyaman untuk lansia, perempuan hamil, anak-anak, dan bahkan masyarakat umum. Prinsip desain universal memberikan nilai tambah bagi keseluruhan ekosistem sosial.

Oleh karena itu, memperhatikan isu disabilitas merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa pembangunan nasional berjalan dengan prinsip “tidak ada yang tertinggal” (no one left behind). Perhatian terhadap penyandang disabilitas bukanlah pilihan tambahan, melainkan bagian fundamental dalam membangun masa depan yang adil dan manusiawi.

Mewujudkan Masyarakat Inklusif

Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang inklusif, Indonesia telah mengambil berbagai langkah politik dan administrasi. Pemerintah melalui UU No. 8/2016 dan peraturan turunannya berusaha memperkuat hak-hak penyandang disabilitas seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, aksesibilitas, serta perlindungan sosial. Namun, sejumlah fakta lapangan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan masih jauh dari optimal.

Pertama, akses pendidikan bagi penyandang disabilitas masih menjadi persoalan serius. Meskipun konsep pendidikan inklusif sudah diperkenalkan, banyak sekolah belum memiliki fasilitas yang memadai, seperti jalur kursi roda, guru pendamping khusus, atau kurikulum diferensiatif. Sebagian penyandang disabilitas bahkan masih ditempatkan di sekolah khusus, padahal sistem pendidikan inklusif seharusnya memungkinkan mereka belajar bersama anak lainnya. Hal ini menciptakan segregasi sejak dini, yang pada akhirnya menghambat integrasi sosial mereka ketika dewasa.

Kedua, permasalahan kesempatan kerja juga menjadi tantangan yang nyata. Banyak perusahaan masih enggan mempekerjakan penyandang disabilitas, meski sudah ada kewajiban hukum terkait kuota tenaga kerja disabilitas di perusahaan tertentu. Alasan yang sering muncul adalah anggapan kurangnya produktivitas atau tingginya biaya adaptasi lingkungan kerja. Padahal riset menunjukkan bahwa pekerja disabilitas mampu bekerja dengan produktif ketika diberi kesempatan dan aksesibilitas yang memadai. Ironisnya, banyak penyandang disabilitas terjerumus dalam pekerjaan informal atau tidak memiliki pekerjaan sama sekali, yang membuat kondisi ekonomi mereka rentan.

Ketiga, dari sisi aksesibilitas publik, banyak fasilitas umum, transportasi, dan ruang-ruang layanan publik yang belum sepenuhnya ramah disabilitas. Trotoar yang tidak rata, bus tanpa ramp, gedung tanpa lift, maupun minimnya petunjuk braille di fasilitas pelayanan publik menunjukkan bahwa akses fisik masih menjadi hambatan utama. Ketika penyandang disabilitas tidak dapat bergerak bebas, maka partisipasi mereka dalam aktivitas sosial dan ekonomi juga menjadi terhambat.

Keempat, sikap dan persepsi masyarakat terhadap disabilitas masih kerap diliputi stereotip negatif. Ada anggapan bahwa penyandang disabilitas membutuhkan belas kasihan, bukan pemberdayaan. Ada pula kecenderungan memandang mereka sebagai “beban”, bukan sebagai bagian dari keberagaman manusia. Kesenjangan persepsi ini mengakibatkan diskriminasi sosial, mulai dari pengucilan hingga perlakuan yang tidak adil dalam kehidupan sehari-hari.

Dari sisi negara, meskipun ada komitmen hukum, koordinasi antarinstansi masih belum sepenuhnya efektif. Anggaran untuk program disabilitas sering kali terbatas. Di tingkat daerah, pemahaman dan kapasitas kebijakan juga berbeda-beda, sehingga implementasi inklusivitas cenderung tidak merata.

Keseluruhan fakta ini menunjukkan bahwa mewujudkan masyarakat inklusif membutuhkan kerja kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan penyandang disabilitas itu sendiri.

Perhatian Negara 

Untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif bagi semua, termasuk penyandang disabilitas, Indonesia perlu melangkah lebih jauh dari sekadar menyediakan regulasi. Diperlukan upaya terintegrasi yang mencakup perubahan sistem, budaya, dan cara pandang. Salah satu solusi fundamental adalah memperkuat implementasi pendidikan inklusif yang benar-benar setara. Pemerintah harus memastikan adanya fasilitas dan tenaga pendidik yang kompeten, agar anak-anak disabilitas dapat belajar bersama teman-temannya dalam lingkungan yang mendukung perkembangan mereka.

Selain itu, dunia usaha perlu dilibatkan secara aktif dengan memberikan insentif dan pendampingan agar perusahaan lebih terbuka menerima tenaga kerja disabilitas. Adaptasi tempat kerja tidak selalu memerlukan biaya besar, tapi perlu kemauan untuk berubah. Dengan membuka ruang kerja yang adil, penyandang disabilitas dapat berkontribusi secara produktif dan mandiri.

Di ruang publik, pemerintah wajib memastikan pembangunan infrastruktur menggunakan prinsip desain universal. Infrastruktur yang inklusif bukan hanya memudahkan penyandang disabilitas, tetapi juga menciptakan kenyamanan bagi seluruh warga. Investasi pada aksesibilitas adalah investasi pada kualitas hidup masyarakat.

Yang tidak kalah penting adalah perubahan budaya sosial. Masyarakat perlu menghapus stigma dan memandang penyandang disabilitas sebagai bagian yang utuh dari kehidupan bersama. Kampanye publik, edukasi masyarakat, serta keterlibatan penyandang disabilitas dalam proses pengambilan keputusan merupakan langkah penting untuk mengubah cara pandang.

Akhirnya, mewujudkan masyarakat inklusif adalah upaya membangun peradaban yang lebih adil dan manusiawi. Penyandang disabilitas bukan objek belas kasihan, 
mereka adalah warga negara yang memiliki hak, martabat, dan potensi. Masyarakat inklusif bukan hanya tentang memenuhi hak mereka, tetapi juga memperkaya kehidupan sosial kita semua.