Bhama
17 Februari 2020, 11:23 WIB
Last Updated 2020-02-18T01:59:19Z
Insight

Fashion dan Gaya Hidup Jadi Identitas Diri Kaum Hawa

Advertisement

Gundyus.id - Fashion menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari penampilan dan gaya keseharian. Benda-benda seperti baju dan aksesori yang dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi. 

Fashion bisa menjadi etalase kecil tentang diri seseorang bagi orang lain. Gaya berpakaian atau berbusana merupakan sebuah bahan penilaian awal seseorang. Di samping juga fashion menjadi cara untuk mengekspresikan diri seseorang. Upaya-upaya manusia untuk berhias agar tampilannya lebih dipandang bukanlah hal baru. Jauh sebelum zaman modern seperti sekarang upaya ini sudah dilakukan. 

Produsen pun berlomba untuk membuat barang bukan lagi sekedar fungsi semata yang berbicara, tetapi juga bagaimana barang produksinya bisa merefkleksikan kepribadian si pemakai. Sebagai contoh produsen jam Fossil dan sepatu Puma Football.

Begitupun dengan sepatu Puma Football yang mengusung kampanyenya dengan “Until Then” melalui produk sepatunya V1.08 yang memiliki tampilan futuristik, gaya, dan modern. Dalam kampanye versi cetaknya Puma Football menggabungkan antara seni fotografi dan animated “Speed Legs” untuk menggambarkan semangat olahraga di masa depan (Kompas, 6 Maret 2008). 


Di dalam masyarakat, persoalan gaya adalah sesuatu yang penting (atau malah gaya merupakan segalanya), semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri.

Seseorang kemudian bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang diinginkan melalui contoh-contoh kepribadian yang beredar di sekitar, seperti bintang film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacammacam tipe kelompok yang ada atau seseorang bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan orang lain. 

Fashion berasal dari bahasa Latin, factio, yang artinya membuat atau melakukan. Karena itu, arti kata asli fashion mengacu pada kegiatan; fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, tidak seperti dewasa ini, yang memaknai fashion sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang. Arti asli fashion pun mengacu pada ide tentang fetish atau obyek fetish.

Kata ini mengungkapkan bahwa butir-butir fashion dan pakaian adalah komoditas yang paling di-fetishkan, yang diproduksi dan dikonsumsi di masyarakat kapitalis. Polhemus dan Procter (dalam Barnard, 2006) menunjukkan bahwa dalam masyarakat kontemporer Barat, istilah fashion sering digunakan sebagai sinonim dari istilah dandanan, gaya dan busana. 

Gaya hidup (lifestyle) secara sosiologis (dengan pengertian terbatas) merujuk pada gaya hidup khas suatu kelompok tertentu (Featherstone,2001). Sementara dalam masyarakat modern, gaya hidup (lifestyle) membantu mendefinisikan mengenai sikap, nilai-nilai, kekayaan, serta posisi sosial seseorang (Chaney, 2004). Dalam masyarakat modern istilah ini mengkonotasikan individualisme, ekspresi diri, serta kesadaran diri untuk bergaya. 

Tubuh, busana, cara bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan, bahkan pilihan sumber informasi, dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualistis selera, serta rasa gaya dari seseorang. 

Fenomena gaya hidup masyarakat Indonesia, (Ibrahim, 2007) bisa dijelaskan pertama, masyarakat konsumen Indonesia tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan seperti mall, indsutri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan hunian mewah, real esatete, gencarnya iklan barang-barang supermewah, liburan wisata ke luar negeri, berdirinya sekolah-sekolah mahal, kegandrungan terhadap merek asing, makanan serba instant (fast food), telepon seluler (HP), dan tidak ketinggalan serbuan gaya hidup melalui industri iklan dan tayangan televisi.

Kedua, globalisasi industri media dari mancanegara dengan modalnya yang besar yang masuk ke tanah air sekitar tahun 1900-an, yakni berupa serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup yang terbit dalam edisi khusus bahasa Indonesia yang jelas menawarkan gaya hidup yang tidak mungkin terjangkau oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. 

Begitu pula berkembangnya industri penerbitan khusus anak-anak dan kawula muda yang menjadi ladang persemaian gaya hidup. 

Ketiga, di kalangan sebagian masyarakat mencuat pula gaya hidup alternatif, suatu gerakan seakan-akan ‘kembali ke alam’, ke hal-hal yang bersahaja, semacam kerinduan ala kampung halaman atau surga yang hilang; dan juga mencuatnya gaya hidup spiritualisme baru yang kesemuanya itu seakan-akan menjadi antitesis dari glamour fashion.

Rupanya nafsu besar terpendam untuk meraih kekayaan, dan kekayaan sebagai lambang prestise, dan prestasi kaya itu pun harus dinyatakan, dirayakan, dan diarak di ruang publik. 

Di kalangan umat Islam, misalnya kini mulai marak iklan dan industri jasa yang menawarkan ‘wisata religius’, berdirinya kafe-kafe khusus muslim, berdirinya sekolah Islam mahal, menjamurnya konter berlabel Exclusive Moslem Fashion, kegandrungan kelas menengah atas akan Moslem Fashion Show dan berdirinya pusatpusat perbelanjaan yang memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk keuntungan bisnis.

Fenomena ini apakah sebagai kebangkitan keagamaan ataukah pemanfaatan sensibilitas keagamaan yang mengalami komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa. Ketika kerudung, jilbab, gamis, baju koko (dengan berbagai model, pola, corak, warna) kian menjadi salah satu ikon gaya hidup dalam fashion, dan mulai menjadi bisnis besar, serta banyak dipakai para artis dalam dunia hiburan seperti sekarang ini. 

The Presentation of Self Everyday Life (1959). Ia mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan dramaturgi (dramatugical approach). Manusia seolah-olah sedang bertindak di atas sebuah panggung. Bagi Goffman, berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari (Ritzer, 2005). 

Dalam abad gaya hidup, penampilan diri itu justru mengalami estetisasi, “estetisasi kehidupan sehari-hari”, bahkan tubuh/diri (body/self) pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya maka kamu ada!”.

Menurut Chaney, penampakan luar menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih penting daripada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting daripada fungsi. Gaya menggantikan subtansi. Kulit akan mengalahkan isi. Pemasaran penampakan luar, penampilan, halhal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi bisnis besar gaya hidup (Chaney, 2004). 

Tidak mengherankan jika kemudian ditemui di ruang publik terjadi kecabulan yang seharusnya privat, tetapi kecabulan tadi berubah menjadi publik karena diarahkan oleh obyek yang ditandakan melalui diantaranya media. (Baudrillard, 2006) Apa yang dikatakan Baudrillard tersebut dalam masyarakat masa kini menjadi fenomena yang menggejala di mana rumor dan gosip atau yang harusnya rahasia, menjadi ’rahasia publik’.

Media dan Budaya Pemujaan Tubuh Jika gaya hidup dipahami sebagai proyek eksistensial daripada konsekuensi-konsekuensi dari program pemasaran, maka gaya hidup seharusnya memiliki implikasi-implikasi normatif, dan juga estetika (Chaney, 2004).

Mereka senantiasa menilai dirinya lewat proyeksi ideal yang ada di media (Ibrahim, 2007). 

Urusan solek-bersolek kini tidak hanya melulu di sekitar rekayasa tubuh (body building) yang ditandai dengan menjamurnya fitness centre atau pusat kebugaran dan menggejalanya kebiasaan berdiet atau operasi plastik di kalangan perpan atau laki-laki yang gelisah karena bentuk atau ukuran tubuh yang dianggap kurang ideal, tapi industri nasihat yang berurusan dengan penampilan juga tak kalah hebatnya, bahkan hingga ke pelosok-pelosok. Iklan jasa pengobatan dan pilpil yang menjanjikan keperkasaan laki-laki dan stamina perempuan mulai dijajakan, bahkan hingga di warung-warung pinggir jalan (Adlin, 2006). 

Salah seorang psikolog Amerika terkemuka, Nancy Etcoff, dalam Suvival of the Prettiest: The Science of Beauty (1999) menyebut gejala tersebut dengan Lookism. Lookism adalah teori yang menganggap bahwa bila lebih baik tampilan Anda, maka akan lebih sukseslah Anda dalam kehidupan.

Kesimpulannya, Fetishism telah hadir dan menciptakan (pseudo) realitasnya sendiri. Ideologi kecantikan telah demikian meresap dan diterima nyaris tanpa resistensi oleh masyarakat. Apabila pada masa lalu, fetishisme biasanya hanya dihubungkan dengan perempuan, maka saat ini banyak pula pria yang telah menjadi “pemuja tubuh dan gaya hidup”. 

Media mempunyai peran besar dalam mengkonstruksikan mengenai bagaimana khalayak dapat tampil cantik atau tampan, memikat, masa kini dan bercitra sukses. Jurnalisme gaya hidup menjadi sebuah pilihan bagi banyak organisasi media. Media-media tersebut memungkinkan terjadinya penyebaran gaya hidup dalam waktu yang sangat cepat. 

Di Indonesia, sebagian media tersebut beroperasi dengan cara waralaba (franchise) dari belahan dunia yang lain layaknya makanan fast food. Kesamaan yang dimiliki oleh semua selebriti—selain populer—adalah memiliki tampilan fisik yang menarik. 

Mereka harus memikat untuk difoto atau disorot kamera televisi. Para selebriti ini bukan hanya menjadi tontonan, tetapi akan menjadi “tuntunan” bagi segenap penggemarnya. Para penggemar akan mencoba mengimitasi penampilan selebriti yang dikaguminya. Mereka  akan mencocokkan fashion, aksesoris, gaya rambut, bentuk tubuh dan gaya hidup para selebriti. 

Mereka berlaku layaknya selebriti dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengaktualisasikan diri, mall menjadi salah satu situs penting dalam kebudayaan kontemporer. Mall adalah tempat di mana mereka bisa dilihat dan melihat. Gaya hidup adalah komoditas baru dalam kapitalisme.

Ia bahkan bisa menelusup masuk dalam simbol-simbol agama dan bergerak dari dalam seraya menawarkan konsep “saleh tetapi trendy” atau “ibadah yes, gaul yes”. Ada preferensi sosial yang diam-diam diadopsi oleh masyarakat dan menggantikan nilai-nilai lama.

Sumber:
FASHION DAN GAYA HIDUP : IDENTITAS DAN KOMUNIKASI
Retno Hendariningrum / M. Edy Susilo, Veteran” Yogyakarta 
Foto: Pexels.com