Bhama
16 Maret 2020, 15:05 WIB
Last Updated 2020-03-16T08:05:12Z
Insight

Melawan Hoax Dengan Literasi

Advertisement

Gudnyus.id - Di era golablisasi informasi, hampir semua orang memiliki gawai yang dipakai pada setiap lini kehidupan. Melalui gawai tersebut berbagai informasi bisa diciptakan, diterima, dan dibagikan mulai dari informasi resep masakan, cara berpakaian, bahkan cara membunuh pun bisa didapatkan informasinya.

Informasi tersebut ada yang bermanfaat namun ada pula yang memberikan masalah bagi penerima informasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu sikap yang bijaksana dan cerdas bagi si pencipta, penerima, dan pembagi informasi. 

Kebijaksanaan dan kecerdasan itud inamakandenganliterasi. Secara umum literasi memiliki makna kemampuan seseorang untuk mengolah dan memahami informasi dalam aktivitas membaca dan menulis. Dalam arti kata, literasi di sini bisa diartikan sebagai ‘melek huruf’.

Lebih lanjut menurut Education Development Center (EDC) literasi lebih dari sekadar melek huruf, lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis. Literasi merupakan kemampuan manusia untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilannya dalam memahami kata,bahkan memahami dunia. 

Berdasarkan paparan Intan Ahmad Dirjen Belmawa pada Rakernas Ristekdikti 2018, literasi baru dalam menghadapi revolusi indudtri memiliki tiga jenis yaitu;
(1) literasi data yang meliputi kemampuan untuk membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi di dunia digital,
(2) literasi teknologi yang berkenaan dengan memahami cara kerja mesin dan aplikasi teknologi, dan (3) literasi manusia yang berkaitan dengan kemanusiaan, komunikasi, dan desain.

Tiga jenis literasi tersebut merupakan kemampuan yang wajib dimilikioleh setiap lulusan sarjana S1 agar mereka menjadi sarrjana yang cerdas dan bijaksana serta siap pakai dan memiliki kepekaan terhadap persoalan kemanusiaan. Artinya, seseorang yang layak menyandang gelar sarjana adalah seseorang yang sudah memiliki literasi data, teknologi, dan manusia. 

Berkaitan dengan literasi data, didalamnya tercakup literasi digital, yang merupakan ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.

Elemen-elemen dasar dari definisi tersebut meliputi; kemampuan partisipasi, mengakses, mengintegrasi, menganalisa,mengevaluasi, mengelola, menciptakan, mengkomunikasikan, dan memberdayakan informasi yang ada dalam gawai baik secara daring maupun luring(Hermiyanto;2018). 

Pada zaman ini, kemampuan literasi digital (melek digital) tidak dapat tidak harus dimiliki oleh masyarakat karena hampir semua kehidupan masyarakat sudah didigitalisasi. Di samping itu, literasi digital juga menjadi pilar penting untuk masa depan pendidikan. Literasi digital juga menjadi basis pengetahuan, yang didukung oleh teknologi informasi secara terintegrasi. Oleh karena itu, literasi digital menjadi salah satu roadmap UNESCO tahun 2015-2020. 

Istilah literasi digital atau melek digital berasal dari dua kata yaitu literasi dan digital. Lietarsi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris ‘letter’ dan dari bahasa Latin ‘literature’ yang berarti kemapuan membaca dan menulis. Dalam arti luas, literasi berarti kemampuan seseorang membaca dan menulis sesuatu yang sedang dibicarakan, didengarkan, dan dikemukakan (Septiyantono:2016). Sedangkan digital berasal dari kata digitus, yang dalam bahasa Yunani berarti jari jemari, sebuah penggambaran kemajuan teknologi komputer dan informatika dewasa ini yang keypad-oriented alias serba "tekan tombol" (Hermiyanto: 2018). 

Seperti yang sudah disinggung pada bagian terdahulu bahwa masyarakat dunia umumnya dan Indonesia khususnya sudah tidak dapat menghindari aktivitas di dunia maya. Bedasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) misalnya, mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Tercatat bahwa sepanjang tahun 2016 sebanyak 132,7 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif internet dari 256,2 juta orang total penduduk. Hal itu menggambarkan bahwa secara perlahan manusia ber “migrasi” dari dunia nyata ke dunia maya.

Kehidupan di dunia maya (digital) seerti buah simalakama bagi manusia, di satu sisi memberikan manfaat, namun di sisi lain memberikan dampak bahaya yang lumayan besar bagi kehidupan masyarakat, bahkan lebih jauh bisa mempengaruhi karakter dan kehidupan bangsa. Dalam dunia maya, seseorang lebih mengharapkan ‘like’ ketimbang rasa kepedulian yang sebenarnya. Si pemakai internet akan melakukan dan menampilkan apapun untuk mendapatkan like dan follower yang banyak.

Postifnya, dunia maya mampu menghubungkan individu dengan individu lain tanpa batas. Manusia memiliki akses yang lebih luas dan mampu mendapatkan informasi secara lebih efisien dan meningkatnya peluang bisnis e-commerce, lahirnya lapangan kerja baru berbasis media digital, dan pengembangan kemampuan literasi tanpa menegasikan teks berbasis cetak.

Perkembangan pesat duniadigital yang dapat dimanfaatkan adalah munculnya ekonomi kreatif dan usaha-usaha baru untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia dan pemerintah melihat ini sebagai peluang untuk menciptakan 1.000 technopreneurs dengan nilai bisnis sebesar USD 10 miliar dengan nilai e-commerce mencapai USD 130 miliar pada tahun 2020.

Sisi negatif dan positif dunia digital memerlukan kecerdasan dan kebijaksanaan. Hal itu disebabkan karena ancaman di dunia digital sangatlah banyak mulai dari dikepung berita bohong (hoax) sampai kepada informasi yang menyesatkan sehingga menggiring masyarakat ke dalam bahaya yang mengancam dirinya sendiri dan juga lebih jauh mengancam integritas kebangsaan.

Berkaitan dengan hoax (berita bohong), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong.’ Dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘maliciousdeception’ tau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Sayangnya, banyak pengguna internet yang sebenarnya mendefinisikan ‘hoax’ sebagai 'berita yang tidak sayasukai’.

Hoax Racun Yang Tersembunyi
‘Hoax’ atau ‘fake news’ merupakan berita bohong atau palsu, dan sudah banyak beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Sebelum zaman internet, ‘hoax’ bahkan lebih berbahaya dari sekarang karena sulit untuk diverifikasi, karena tidak jelas sumbernya.

Di zaman digital, sumber hoax bisa ditelusuri sehingga bisa diketahui siapa dan dimana sumber berita hoax berasal. Berita Hoax disebabkan oleh penyalahgunaan freedom of speech. Freedom of speech ini berasal dari negara-negara yang memiliki tradisi liberal yang memberi ruang seluasluasnya bagi orang untuk membicarakan apapun, dan memuji seseorang yang bisa berlaku sebebas-bebasnya dalam suatu komunitas (Floridi, 2010). 

Namun pada praktiknya Freedom of Speech seringkali disalahartikan dan disalahgunakan untuk menciptakan berita hoax yang bertujuan memang untuk membuat sensasi pada media sosial tersebut atau memang sengaja agar pengguna internet dapat mampir pada website sang pembuat berita hoax tersebut agar meraup keuntungan dari jumlah pengunjung yang banyak pada websitenya.

Menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah percaya pada hoax. Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki (Respati, 2017). 

Contohnya jika seseorang salah satu calon presiden, maka dia akan berusaha mati-matian unuk membelai calon presden yang disukainya dan mempercayai setiap informasi yang bekenaan dengan kesukaanya tersebut. Dia juga akan mempercayai informasi apapun yang menjelek-jelekkan lawan dari calon kesukaannya.

Secara alami perasaan positif akan timbul dalam diri seseorang jika opini atau keyakinannya mendapat afirmasi sehingga cenderung tidak akan mempedulikan apakah informasi yang diterimanya benar dan bahkan mudah saja bagi mereka untuk menyebarkan kembali informasi tersebut. 

Menurut sumber www.rapler.com, hoax memiliki beberapa jenis yaitu: 
1. Hoax proper : Hoax dalam definisi termurninya adalah berita bohong yang dibuat secara sengaja. Pembuatnya tahu bahwa berita itu bohong dan bermaksud untuk menipu orang dengan beritanya. Hoax seperti ini banyak bermunculan di saat Pemilu baik itu pilpres maupun pilkada. 

2. Judul heboh tapi berbeda dengan isi berita: Kebiasaan buruk banyak netizen adalah hanya membaca headline berita tanpa membaca isinya. Banyak beredar artikel yang isinya benar tapi diberi judul yang heboh dan provokatif yang sebenarnya tidak sama dengan isi artikelnya. Jenis ini umumnya di temukan dalam berita-berita artis yang ingin mencari sensasi. Si pembuat berita hanya mengharapkan like dari pembaca berita atau pengikutnya.

3. Berita benar dalam konteks menyesatkan : Kadang-kadang berita benar yang sudah lama diterbitkan bisa beredar lagi di sosial media. Ini membuat kesan bahwa berita itu baru terjadi dan bisamenyesatkan orang yang tidak mengecek kembali tanggalnya. Jenis ini sering berkaitan dengan hal-hal yang mengancam, seperti bencana alam dan juga ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan praktik ibadah.

Berita hoax kebanyakan mangandung isu SARA bercampur budaya malas membaca (Akhyar. 2017). Kemalasan masyarakat dalam membaca tersebut membuat bahaya hoax semakin besar dan bisa jadi mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sikap yang cerdas dan bijaksana, agar bahaya hoax tersebut bisa ditanggulangi sedini mungkin.

Indonesia memiliki sebuah gerakan yang bernama Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang didalamnya termasuk literasi digital yang salah satu tujuannya adalah agar pemakai internet di Indonesia bijak dan cerdas dalam menyerap dan menerima informasi. Lebih lanjut, pemakai internet mampu menyaring hoax sebelum membagikan berita bohong tersebut kepada orang lain. 

Gerakan Literasi Nasional (GLN) ini merupakan bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti(Didik.2017).  Jumlah generasi muda yang mengakses internet di Indonesia sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta orang. Generasi muda tersebut mengisi waktunya untuk berselancar di dunia maya dengan modal jari-jemarinya.

Setiap hari mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk menikmati berbagai hal yang ditawarkan dunia digital. Tingginya penetrasi internet bagi generasi muda tentu meresahkan banyak pihak dan fakta menunjukkan bahwa data akses anak Indonesia terhadap konten berbau pornografi per hari rata-rata mencapai 25 ribu orang (Republika, 2017). 

Belum lagi perilaku berinternet yang tidak sehat, ditunjukkan dengan menyebarnya berita atau informasi hoax, ujaran kebencian, dan intoleransi di media sosial. Setiap anggota masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa untuk menangkal ekses negatif dunia digital diperlukan liteasi digital karena literasi digital sama pentingnya dengan membaca,menulis,berhitung,dan disiplin ilmu lainnya.

Generasi yang tumbuh dengan akses yang tidak terbatas dalam teknologi digital mempunyai pola berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka memiliki kebebasan yang tak terbatas terhadap aksesi nformasi. Oleh karena itu mereka seharusnya memiliki rasa tanggung jawab terhadap bagaimana menggunakan teknologi untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. 

Teknologi digital memungkinkan orang untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga dan teman dalamkehidupansehari-hari. Namun dilainsisi,duniamaya semakindipenuhikontenberbau berita bohong, ujaran kebencian, dan radikalisme, bahkan praktik-praktik penipuan. Keberadaan konten negatif yang merusak ekosistem digital saat ini hanya bisa ditangkal dengan membangun kesadaran dari tiap-tiap individu. Bijak menggunakan digital berarti dapat memproses berbagai informasi yang diterima juga mampu memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dengan memanfaatkan berbagai aplikasi yang ditawarkan. 

Dalam hal ini, menciptakan, mengelaborasi, mengomunikasikan informasi, dan bekerja secara daring diharapkan sesuai dengan aturan. Di samping itu, pengguna digital harus mampu memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Pengguna juga harus memiliki kesadaran berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi. 

Literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Mereka tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoax, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif masyarakat secara bersamasama. 

Keberhasilan membangun literasi digital merupakan salah satu indikator pencapaian dalambidangpendidikandankebudayaan(Didik.2017). Lebih lanjut, literasi digital akan membiasakan pengguna digital untuk menyaring terlebih dahulu informasi yang diserap dan diterima sebelum mebagikan informasi tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, sikap saring before sharing perlu dimiliki dan dibudayakan dalam masyarakat digital.

Sumber:
MENANGKAL HOAX MELALUI LITERASI DIGITAL
Yenni Hayati, Universitas Negeri Padang
foto: pexels.com